Merdeka dari Trauma - Anonim

 
 MERDEKA DARI TRAUMA

ANONIM

Halo semuanya. Perkenalkan nama saya adalah Dinda. Saya berusia 14 tahun dan sementara menempuh jenjang pendidikan kelas 9 SMP.

Melalui tulisan ini, saya ingin menceritakan pengalaman saya secara perlahan merdeka dari trauma yang saya alami sewaktu saya masih duduk pada jenjang kelas 5 SD.

 

Cerita ini diawali dari kebiasaan ibu yang sering sekali keluar rumah, baik itu sendiri maupun bersama teman-temannya. Karena kebiasaan ibu itulah, saya sering dititipkan ke rumah tetangga. Tetangga tersebut bernama bu Yeni dan pak Nanang (nama samaran). Dan dari situlah saya menjadi dekat dengan keluarga tetangga tersebut, bahkan saya sudah menganggap keluarga bu Yeni dan pak Nanang seperti keluarga saya sendiri.

Lalu, pada suatu hari saat pulang sekolah, hari itu saya mengajak seorang teman ke rumah, Yeye namanya (nama samaran). Namun sayangnya, saat itu pintu rumah terkunci, sehingga otomatis saya mengajak Yeye ke rumah bu Yeni sekeluarga.

Setiba kami sampai di rumah bu Yeni, beliau dan pak Nanang menyambut kami dengan baik, kamipun dipersilahkan beristirahat dirumahnya. Lalu, setelah beberapa saat, pak Nanang tiba-tiba mengajak saya jalan-jalan naik motor. Mendengar ajakan tersebut, saya otomatis mengajak Yeye, sehingga kami menaiki motor tersebut dengan berboncengan tiga orang (maaf kalau kurang sesuai dengan protokol keselamatan).

Posisi saat menaiki motor yaitu saya yang paling depan, pak Nanang di tengah, dan Yeye paling belakang. Kemudian, tanpa terduga ternyata pak Nanang meminta saya untuk menyetir motor tersebut, sehingga kesannya saya seperti diajarkan untuk mengemudikan motor. Maklum, diusia segitu saya sedang senang-senangnya bergaya, terlebih lagi kalau bisa naik motor. Terlebih, saya juga sudah tidak bisa menolak karena otomatis yang paling depan di motor itu adalah saya.

Saat baru mulai mengendarai motor, suasananya terasa biasa saja. Pak Nanang memegangi perut saya dan saya mengira saat itu memang dia menjaga saya agar tidak terjatuh dari motor. Saya merasa hal tersebut wajar karena saat saya belajar mengendarai motor dengan ayah saya, ayah saya juga bersikap demikian untuk menjaga saya.

Namun, setelah beberapa lama saya merasa ada yang aneh dengan cara tangan pak Nanang memegang badan saya. Lama-kelamaan saya merasa tangannya mulai memegang area pribadi bagi saya yaitu payudara saya. Bukan hanya memegang, namun tangan pak Nanang justru meraba-raba bagian payudara saya. Saya merasa sangat tidak nyaman, karena meskipun masih usia belia, saya mengerti bahwa memegang payudara adalah bukan hal yang sepantasnya, apalagi apabila hal tersebut dilakukan oleh orang lain kepada kita.

Hal itu pak Nanang terus lakukan sepanjang jalan, namun tidak ada orang yang menegur dijalan karena saya menggunakan kerudung, sehingga perbuatan bejatnya tertutup oleh kerudung saya. Saya juga merasa takut untuk menegur beliau karena merasa tidak enak apabila menyebutkan kata-kata yang menyakitkan, sehingga saya hanya berkata, “Om, geli om jangan gitu.” Setelah saya menegur demikian, sempat beliau berhenti melakukan aksinya. Namun setelah beberapa saat, dia mulai lagi meraba-raba bagian depan saya, bahkan lama-kelamaan dia meraba ke area bawah yaitu area vagina. Saat itu saya merasa sangat cemas, jantung saya berdebar dan saya ketakutan. Saya bingung harus melakukan apa, sehingga yang bisa saya lakukan hanya diam. Namun karena merasa sangat takut, akhirnya saya memberontak.

 

Saya                : “Om, ‘kan aku udah bilang geli, jangan gitu. Aku mau pulang!!’

Pak Nanang    : “Nanti aja, katanya mau jalan-jalan?”

Saya                : “Gak mau! Aku mau pulang sekarang!! Pulang atau aku lempar kunci motornya?!”

 

Mendengar ucapan saya yang sudah marah-marah, pak Nanang terdiam dan menghentikan motor. Tak lama kemudian, ia memutar-balikkan motornya dan kami menempuh jalan untuk pulang. Namun sebelum itu, saya meminta untuk bertukar tempat duduk sehingga saya duduk di posisi paling belakang dengan Yeye ditengah dan pak Nanang menyetir di paling depan. Dalam perjalanan pulang itu, saya menahan tangis sekuat-kuatnya. Saya merasa ternodai dan saya tidak tahu harus berbuat apa.

Sesampainya di rumah pak Nanang, saya langsung mengajak Yeye untuk pulang kerumahnya dan berpamitan dengan bu Yeni. Saya tidak mau ada ditempat yang sama dengan pak Nanang, saya benar-benar merasa tidak nyaman.

Saat di jalan menuju rumah Yeye, saya bertanya ke Yeye,

Saya    : “Yeye, tadi denger gak pas aku bilang geli-geli gitu?”
Yeye    : “Iya denger, itu kamu kenapa?”

Saat itu, saya jelaskan kejadian yang saya alami di atas motor tadi. Dan setelah selesai bercerita kepada Yeye, saya memohon kepada Yeye agar berjanji untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun, karena saya sangat takut kalau masalah ini tersebar justru akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Yeye mengiyakan.

Semenjak waktu itu, saya memendam cerita ini sampai 4 tahun lamanya. Dan dalam waktu 4 tahun itu saya merasa sangat trauma, sangat berat yang membebani diri saya hingga pada akhirnya, bulan Juni 2020 saya memberanikan diri menceritakan kejadian tersebut kepada kakak perempuan saya yang kebetulan berkuliah di jurusan Psikologi. Hal ini saya lakukan karena saya mulai berpikiran kalau mungkin dengan bercerita, saya dapat merasa lebih lega dibandingkan jika saya terus-menerus memendam masalah ini sendiri. Setelah menceritakan hal tersebut kepada kakak perempuan saya, dia ternyata memberikan dukungan kepada saya. Dan benar saja, alhamdulillah saya merasa lebih lega sekarang, merasa lebih ringan menjalani hari-hari saya.

Dari pengalaman saya yang diatas, saya juga ingin sekali mendorong teman-teman yang mungkin punya trauma serupa ataupun trauma yang lain untuk dapat mencoba menceritakan beban traumanya kepada orang-orang yang teman-teman percayai, boleh orang-orang terdekat yang bisa dipercaya atau kepada praktisi psikolog. Saya sangat meminta agar teman-teman jangan mencoba untuk memendamnya sendiri, karena benar-benar lebih baik apabila kita menceritakan hal tersebut dibandingkan menyimpan semua beban tersebut sendirian. Karena dengan menceritakan hal tersebut, saya merasa lega dan tidak merasa sendirian lagi sebab saya merasa bahwa masih ada orang yang mau menerima, mendengarkan, memperhatikan, juga medukung saya.

Semangat semuanya~ Semoga cerita ini dapat memberikan insight yang baik bagi teman-teman semua~

 


 

Editor: Retno Pratiwi Sutopo Putri (Tim Editor Halo Jiwa)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.